BUKU 2:
judul: 12 rules for life
penulis: jordan b. peterson
jenis: psychology
tahun terbit: 2018
penerbit: penguin random house uk
isbn: 9780141988511
jumlah halaman: 409
selama membaca buku ini, aku terus membatin bahwa ini adalah buku nonfiksi terbaik yang pernah aku baca. "uuh pokonya aku mau langsung baca buku ini lagi, nanti setelah selesai baca semuanya.", kataku berulang-ulang di dalam hati. aku bahkan sempat kepikiran, kalau saat ini aku masuk penjara & hanya boleh bawa 2 buku, buku ini adalah salah satu yang akan kubawa. aku beneran merasa buku ini sebagus itu, jadi ketika aku lihat review yang ditulis orang-orang di goodreads, aku sempat kaget sedikit. karena meskipun rating buku ini termasuk tinggi, tapi komentar yang paling banyak ditulis & mendapat dukungan terbanyak, ternyata adalah review negatif.
berbekal jiwa kepo yang tinggi, aku lalu lihat-lihat daftar buku yang sudah dibaca oleh si reviewer negatif tersebut. dan lhaaa.. aku malah jadi makin ragu dengan opiniku sendiri. ya gimana enggak, ternyata dia membaca buku 'serius' jauuh lebih banyak daripada aku. aku pikir, mana mungkin orang yang membaca buku sebanyak itu, opininya tidak lebih valid daripada aku yang membaca buku jauh lebih sedikit daripada dia. ya kan?
beberapa komentar negatif tentang buku ini ditulis dalam kalimat yang sangat emosional, dengan tuduhan serius seperti anti feminis, dogmatis, penulis merasa dirinya paling pintar & benar, yang loh kok aku sama sekali nggak menemukan hal-hal tersebut ada di dalam buku ini? ya memang bisa aja sih, itu cuma karena bahasa inggrisku yang belum bagus. karena pas baca sekilas buku ini, basuki yang bahasa inggrisnya pinter aja bilang, ini bukunya memang agak sulit bahasanya.
tapi aku punya teori lain.
salah satu reviewer negatif bilang, buku ini sangat subjektif. dan aku setuju. bedanya, menurut dia, subjektivitas itu yang bikin buku ini jadi nggak bagus, sedangkan menurut aku justru sebaliknya.
kalau aku bilang, di dalam buku ini, penulis berhasil menyusun pengetahuan yang dia dapat dari proses belajarnya yang sangat panjang. dia menulis berdasarkan pengalaman hidupnya sendiri, & pengamatannya terhadap orang-orang di sekelilingnya (dia adalah seorang psikolog). mungkin itu yang membuat tulisannya jadi terasa sangat subjektif. tapi justru karena semua itulah, menurut aku, yang membuat buku ini menjadi karya yang original. dia menuliskan hanya hal-hal yang dia tau saja. kalau kamu baca sedikit saja sejarah hidupnya, dan hal-hal yang dia pelajari selama ini, kamu akan langsung mengerti kenapa dia memilih referensi-referensi yang diprotes oleh beberapa reviewer buku tersebut.
sebagai manusia yang gampang insecure, aku lalu kepikiran lagi. nah, si penulis review negatif yang tadi itu, padahal kan dia lebih pintar dari aku (sementara diasumsikan begini saja ya, yang gampang: karena dia membaca lebih banyak buku). tapi kenapa ya, dia tidak bisa melihat apa yang aku lihat? bukankah membaca buku itu membuka pikiran & memperluasnya?
..
aku berpikir, dan kemudian menyimpulkan, gimana kalau semua itu karena memang ilmu pengetahuan dan pemahaman adalah 2 hal yang berbeda? ada yang bilang, "knowledge does not equal understanding." ilmu pengetahuan bisa kita dapatkan dari belajar, sedangkan pemahaman hanya bisa didapatkan dari mengalami. (dan mungkin empati, jika kamu tidak mengalaminya sendiri?) jadi, sangat mungkin orang yang memiliki lebih banyak pengetahuan, tidak memiliki pemahaman mengenai sesuatu, seperti yang dimiliki oleh orang yang pengetahuannya tidak lebih banyak daripada dia. itu mungkin kenapa dibilang, pengalaman adalah guru yang paling berharga. karena ilmu pengetahuan adalah informasi, sedangkan pemahaman adalah kebijaksanaan.
membaca buku & review orang-orang mengenai buku ini, jadi menguatkan pendapatku, bahwa semakin personal sebuah karya, maka orang yang menyukai atau terhubung dengan karya tersebut akan jadi semakin banyak, tapi yang benci akan semakin banyak juga. karena karya yang personal itu biasanya bisa menyentuh lebih banyak orang, tapi juga akan semakin tidak mudah dimengerti oleh lebih banyak orang lainnya, terutama orang yang menolak untuk berusaha mengambil sudut pandang si pembuat karya tersebut.
daaaan..
bisa jadi juga, orang-orang itu memang cenderung bisa lebih mudah marah, ketika dia membaca sesuatu yang menunjukkan kesalahan-kesalahannya. lol. dan menurutku, itulah yang dilakukan buku ini. sejujurnya selama membaca buku ini, aku merasa seperti sedang minum jamu yang bisa bikin perut singset, tapi ya memang rasanya bikin muntah. atau jus campuran sayur-sayuran yang rasanya paiit banget, walaupun juga menyembuhkan.
jadi gini lo. selama ini tu, biasanya setiap aku baca buku, seperti ada rasa lega di dalam hati dengan membaca buku tersebut, karena oh mungkin selama ini aku ternyata sudah melakukan hal yang benar. melalui buku, biasanya aku menemukan penjelasan tentang pilihan-pilihan hidupku selama ini, atau hal-hal yang sebelumnya hanya bisa aku rasakan, tapi aku belum mampu jelasinnya karena aku belum ngerti kenapa dan gimananya. nah baru di buku ini, yang di setiap babnya, penulis menyampaikan kesedihan beruntun bahwa wow wow wow wow ternyataaa betapa gobloknya aku selama ini. hahaha. dari 12 rules yang dia tulis, dua belas dua belasnya sangat mengena di hati, pikiran, dan menyerang habis-habisan egoku yang mudah terluka ini. lol.
aku bersyukur menemukan buku ini. terima kasih ya, basuki yang suka belibeli & pinter pilipili buku bagus.
kalau salah satu reviewer bilang ini karya sampah, aku bilang: aku akan dengan senang hati mengunyah dan menelan sampah-sampah ini sampai aku muntah-muntah.
kayaknya ini adalah buku yang paling banyak aku garis bawahin, jadi sangat sulit menentukan quote yang paling aku suka. jadi aku salin aja salah satunya di sini ya. (tanda baca, pemisahan kata, dan paragraf tidak sama seperti di buku)
ask.
and it shall be given to you.
seek.
and yee shall find.
knock.
and it shall be open unto you.
for everyone who ask,
receives.
the one who seeks,
finds.
and to the one who knocks,
the door will be opened.
[matthew, 7:7 - 7:8]
.. everyday, the prayers of desperate people go unanswered. but maybe this is because the questions they contain are not phrased in the proper manner. perhaps you could ask, instead, what you might to do right now to increase your resolve, buttress your character, and find the strength to go on. perhaps you could instead ask to see the truth.
the problem with asking yourself such a question, is that you must truly want the answer. and the problem with doing that is that you won't like the answer.
if it's you that's wrong and you that must change, then you have to reconsider yourself - your memories of the past, your manner of being in the present, and your plans for the future. then you must resolve to improve and figure out how to do that. then you actually have to do it. that's exhausting.
it's much easier just not to realise, admit and engage. it's much easier to turn your attention away from the truth and remain wilfully blind. but it's at such a point that you must decide whether you want to be right, or you want to have peace. to seek peace, you have to decide that you want the answer, more than you want to be right.
perhaps that is true prayer: the question, "what have i done wrong, and what can i do now to set things at least a little bit more right?"
but your heart must be open to the terrible truth.
kamu bisa baca rekomendasi buku sebelumnya di sini
No comments:
Post a Comment