awalnya di buku ini dia bilang begini: "it's never easy to be rejected but it's arguably a great deal worse to have to reject." wuih, akhirnya ada yang ngerti juga, kubilang.
tapi trus dia bilang: "it's profoundly tempting to say nothing ... but such ambiguity merely prolongs the torture. you have the agency, maturity, and responsibility to bring this to an end." terus terang, sebetulnya pemikiran seperti ini yang selama ini aku percaya juga. yang membuat aku semakin menyalah-nyalahkan diri sendiri. kalau aku sayang sama dia, mestinya aku begini begitu dll dst dsb. kadang aku bahkan nuduh-nuduh diri sendiri kalau aku ini cuma takut kalau nanti aku bilang "kita temenan aja ya," dia jawabnya: "loh, selama ini kita memang teman, kan?" 💀💀💀💀💀💀💀
tapi ternyata setelah aku membaca jalan pikiranku sendiri melalui tulisan orang lain begini, justru aku bisa menemukan betapa anehnya cara berpikir seperti ini.
selain karena si penulis ini terlalu berlebihan menuntut diri sendiri bertanggung jawab untuk sesuatu yang sebetulnya bukan tanggung jawabnya dia, di saat yang bersamaan orang ini juga mengambil hak orang lain nggak, sih? ini tu aku bacanya jadi: ada orang mau ngomong, dia belum ngomong, tapi udah kamu suruh diem. apa boleh kayak gitu, tu??!!
udahlah terserah school of life mau nulis apa. tapi aku mau stop kebiasaan buruk suka ambil-ambilin tanggung jawab orang lain & menyalah-nyalahkan diri sendiri untuk sesuatu yang jelas bukan urusanku.
selain itu aku juga nggak mau lagi memperlakukan orang lain seperti bocah. apalagi kalau aku sayang, aku semestinya percaya kalau dia bisa menyelesaikan urusannya sendiri layaknya manusia dewasa.
No comments:
Post a Comment