kehidupan keluarga kami bisa dibilang sedikit berbeda dari
keluarga normal di Indonesia pada umumnya. terutama dalam kehidupan beragama.
seperti
saya pernah bercerita juga sebelumnya, di dalam sebuah rumah, kami tinggal
berenam (sebelum mak saya meninggal). papa saya katolik, mama saya muslim. kami
bertiga anak papa adalah muslim, dan mak saya nggak jelas apa agamanya sampai
dia meninggal.
papa dan mama menikah di catatan sipil. dulu di indonesia
catatan sipil digunakan oleh orangorang yang berbeda agama untuk menikah.
sekarang catatan sipil sudah dihapuskan. setau saya, saat ini tidak lagi
disediakan fasilitas untuk pernikahan beda agama. jika pasangan berbeda agama
mau menikah, mereka harus memilih menikah di salah satu lembaga agama, atau
duaduanya, atau menikah di luar negeri, atau menikah saja dengan orang lain
yang agamanya sama daripada ribet.
betul nggak, ya?
ketiga anak bapak saya, adalah muslim.
kenapa kami bertiga akhirnya menjadi muslim, saya pikir, mungkin
setengahnya adalah karena bapak saya menghendaki demikian. alasan papa waktu
itu cukup sederhana: kami tinggal di negara yang mayoritas muslim, dan papa
berpikir, lebih mudah untuk kehidupan anakanaknya menjadi bagian dari
mayoritas, daripada minoritas.
kesempatan untuk kami akan terbuka lebih lebar.
saya ingat waktu saya ditanya ‘mau ikut mama atau papa’ papa
bilang, “kalau menurut papa kamu ikut
mama saja. nanti kamu bisa punya lebih banyak teman”
jadilah saya seorang muslim.
…
anggota keluarga keenam yang tinggal di rumah itu, mak saya,
adalah kakak kandung mama. dia tidak menikah, tidak punya anak, dan terlahir
sebagai seorang muslim. mak tinggal bersama kami setelah mbah kakung meninggal
& rumah simbah dijual.
setiap hari minggu pagi, mak saya itu mendengarkan siaran radio yang memutar khotbah minggu & lagulagu pujian di
kamarnya, dan sorenya, dia berdandan rapi lalu pamit pergi ke gereja.
suatu hari mama pernah bilang ke papa, minta
tolong diuruskan ke gereja, bagaimana kalau mak saya ingin merubah identitasnya,
karena di ktpnya masih tertulis islam, sedangkan sudah sejak lama dia
menjadikan gereja sebagai tujuannya. mama saya memikirkan bagaimana nanti kalau
mak saya meninggal. gereja menjawap dengan pemberitahuan: bahwa mak saya bisa dianggap sebagai seorang katolik, dengan syarat mak saya harus lulus ujian
dulu, dan salah satunya adalah ujian tertulis.
mama tidak mengerti, bagaimana mungkin orang yang nggak bisa
baca tulis dan penderita alzheimer harus lulus ujian tertulis untuk bisa
memperoleh identitas yang sama dengan keyakinannya, dan memperoleh haknya
ketika nanti meninggal.
setelah bertahuntahun berusaha tanpa hasil, pada suatu pagi
saya dengar mama bilang ke mak saya: “wis
mak, kamu nggak bisa pindah agama. besok kalau kamu meninggal, kamu akan diurus
secara islam, sesuai dengan ktpmu. aku minta kamu ikhlas” saya lihat mak
saya cuma menjawap lirih sambil menunduk, duduk di tepi tempat tidurnya: “yo wis..”
di hari ketika mak saya meninggal, ketika adik saya
menelepon untuk menanyakan jam berapa pesawat saya sampai di jogja. saya dengar
suara di latar belakang, adalah ayatayat al quran. saya ingat dengan kaget saya
bilang ke adik saya: “loh, al quran? mak
dikuburkan secara muslim?”
adik saya tidak menjawap. tapi saya ingat, di bangku ruang
tunggu bandara dada saya bergemuruh.
bingung.
saya terlalu bingung.
selama tujuh hari setelahnya, di rumah ada acara kenduri dan
pengajian al quran. saya ingat saya marah sekali waktu imam masjid di kampung
datang, dan dia bilang di pembukaan acara: “ya
kita disini cuma kewajiban saja sebagai warga. hanya karena ada warga kita yang
meninggal sebagai muslim, ya kita doakan secara islam, walaupun seumur hidupnya
dia tidak pernah solat”
…
kehidupan keluarga kami tidak pernah mudah.
saya juga sudah pernah cerita, di sd saya selalu dimusuhi, nggak
diajak bicara oleh semua teman perempuan dikelas, ban dikempesin, & dikatakatai bapak
saya kafir. smp dan sma tidak pernah lebih baik karena papa memutuskan dia
ingin dikenal saja sebagai muslim di sekolah saya, yang itu bukan dirinya,
hanya untuk supaya saya tidak diperlakukan sama seperti saya waktu di sd.
tapi ternyata begitu bahkan tidak pernah menjadi lebih baik.
saya ingat bahkan di hari pertama masuk sekolah saya sudah bingung menjawap pertanyaan, karena untuk
ospek besok pagi disuruh membawa peci ke sekolah. teman saya bertanya: “lah masak di rumahmu nggak ada peci? kan
tinggal pinjam peci punya bapakmu?’
atau ketika setiap teman sekolah main
dirumah pada waktunya solat jumat, papa harus keluar dari rumah supaya tidak
ada pertanyaan “kok bapakmu nggak
jumatan?”
papa nggak pernah bilang, tapi saya tau.
dan bahkan temanteman terdekatpun nggak ada yang tau bapak saya
bukan muslim.
teman macam apa saya ini :)
...
mungkin tidak ada yang mengerti, tapi bagi saya berpurapura tidak menjadi diri sendiri itu jauh
lebih berat rasanya, daripada sekedar menerima perlakuan kasar sesama teman, seperti
ditendang oleh segerombol anakanak waktu naik sepeda sambil diteriaki: “bapake kafir, bapake kafir”
atau bisikbisik sesama teman di setiap pelajaran agama:
“bapake kafir, bapake kafir”
ganjalan di dada karena berpurapura itu lama sekali
tertinggal bahkan sampai saat ini. sedangkan dikatakatai & disakiti secara
fisik, mungkin saya sudah tidak ingat lagi rasanya.
tapi hanya sebegitu saja untuk saya.
mama sebagai orang
yang berdosa saya yakin hidupnya juga tidak lebih mudah.
mama bilang: “aku
berdosa, tapi anakanakku tidak”
pun papa, pendosa yang satunya lagi, dilarang menerima komuni
di gereja, karena tidak menikah di gereja, dan diancam kalau meninggal nggak
ada orang gereja yang berani masuk rumah & mengurus jenasah karena tidak
ada satu anakpun yang ikut papa menjadi seorang katolik.
hah.
apa begini rasanya jadi orang kena lepra. orang enggan
mendekat karena takut ketularan penyakit yang sama?
dan bahkan setelah 30 tahun pernikahan, mereka masih diminta
mengulang pernikahan di gereja. juga mama masih diminta menandatangani formulir
oleh gereja yang bertuliskan: ‘akan mengijinkan suami saya melakukan segala
kegiatan keagamaan’
padahal mereka tau, selama ini papa orang yang paling rajin mengikuti
acara gereja. bagaimana mungkin semua itu terjadi kalau mama saya tidak pernah
mengijinkan?
…
sejak sebelum menikah, tidak hanya satu dua kali,
masingmasing dari mereka diminta, dibujuk, dirayu, disuruh, dipaksa, oleh orang lain
untuk menjadi sama.
pun kami anakanaknya, tidak hanya sekaliduakali, dari saya
masih anakanak sampai saya sudah dewasa, mau menikah, sudah menikah, dikotbahi
panjang lebar, ditakuttakuti orang kalau bapak kami nggak akan masuk surga.
diceritai apa yang nanti akan dialami papa di alam kubur. akan dapat siksa
seperti apa saja. dan kami dengan sangat jelas divonis, TIDAK AKAN PERNAH BISA
BERTEMU LAGI! dan semua itu diakhiri dengan pemberian beban yang sangat berat di pundak kami karena kalau nanti
bapak saya sampai disiksa di neraka, itu karena anakanaknya yang gagal menyelamatkannya..
kadang saya berpikir, apa mereka lupa, kami ini hanya
anakanak?
seperti yang selama ini kami alami tidak cukup saja.
hahaha..
la kok mikirin bapak saya di kehidupan yang akan datang,
dengan sebegini banyak dosa, saya sendiri saja tidak pernah yakin saya nanti mati bakal
masuk surga.
…
orang diluar rumah tidak pernah melihat apa yang sebenarnya
terjadi di dalam rumah kami.
orang orang tidak melihat,
setiap malam natal, kami menunggu papa pulang untuk
mengucapkan selamat natal & menunggu bakpao hangat yang selalu dia bawa. dibeli
di depan gereja. kami makan bersama sambil nonton filem musim natal.
orang orang tidak melihat,
setiap idul fitri papa yang membersihkan rumah, menyapu
halaman, menghangatkan opor & sambel daging gelinding, sementara kami solat
ied. sepulangnya, kami sungkemsungkeman di ruang tamu. saya selalu melihat
matanya berkacakaca setiap mengucapkan kalimat: “papa juga minta maaf, selama ini sering salah bicara, mungkin
menyakiti hatimu”
seperti selalu diharamnya kami mengucapkan selamat natal,
papa juga pernah diharamkan mengirimkan sms permintaan maaf di hari raya idul
fitri oleh temantemannya.
oh, orangorang tidak melihat,
natal dan idul fitri di keluarga kami selalu.. apa ya..
selalu ada sesak di dada yang lepas, yang membuat hari itu selalu terasa
seperti ‘lembar baru’. kalau itu tidak boleh disebut sebagai: indah.
orangorang tidak melihat,
adik saya sadham setiap berangkat solat jumat, (bahkan kata
mama sekarang rajin solat lima waktu di masjid), setiap berangkat ke masjid, selalu cium tangan
papa saya sambil berucap doa: “assalamualaikum”
dan papa juga menjawapnya dengan doa: “wa’alaikumsalam”
tidak pernah ada aturan dirumah harus begini begitu tidak
boleh begini begitu untuk menjaga toleransi, tapi kami lakukan saja halhal yang
kami yakini. papa ke gereja, mama berdoa dengan bersujud, adik saya ke masjid,
saya pakai kerudung..
tidak ada yang memaksa, karena masingmasing dari diri kami
juga tidak ingin dipaksa.
tapi semua tidak pernah mudah.
tidak pernah.
hah :))
kadang sebagian manusia memang merasa berkuasa mengatur
hubungan manusia lain dengan tuhannya.
tapi sebenarnya kami tidak perlu bersedih hati.
tidak seperti tuhan yang memiliki,
mereka tidak pernah punya kuasa atas hati kita.
:)
terimakasih untuk segala nasehat, usul, pendapat yang kami
sudah dengar sejak berpuluh tahun yang lalu. bahkan sejak kami mulai mengerti
katakata.
kalau benar semua yang keluar dari mulut itu adalah
perwujudan cinta,
bagaimana kalau begini saja,,
doakan kami
yang kalian cintai & ingin sekali kalian selamatkan ini
supaya bahagia,
di dunia
dan setelah dunia
karena tidak akan ada satupun manusia,
apalagi hanya dengan mulutnya,
mampu merubah yang ada di dalam hati manusia yang lainnya.
hanya dia.